Monthly Archives: April 2020

Bocah Malang

Saat itu langit sedang sedih dan gerimis pun turun perlahan, tampaknya hujan deras tak lama lagi akan tiba. Seorang pengendara motor tiba-tiba berhenti di depan rumahku dan menurunkan paksa seorang bocah kecil tak berdosa yang usianya mungkin baru tiga tahun. Aku terkejut tapi tak bisa berbuat banyak karena pengendara itu langsung melaju. Meninggalkan bocah kecil itu yang berteriak-teriak memanggilnya, lalu kebingungan dan ketakutan melandanya setelah pengendara itu lenyap dari pandangan.

Segera kucari kunci motorku agar aku bisa segera mengejarnya, tapi tiba-tiba hujan deras membasahi segalanya. Termasuk harapanku yang ingin mengejar orang itu.

Bocah kecil yang kebingungan dan ketakutan itu kini membisu. Ia tak lagi berteriak memanggil, karena tak ada lagi yang bisa ia panggil. Bocah itu segera merapat berteduh ke teras rumahku, satu-satunya tempat yang bisa segera ia singgahi dibawah hujan seperti ini.

Kuperhatikan anak itu. Iba dan empatiku membuncah keluar. Kasihan sekali. Aku segera membuka pintu hendak kurangkul dia dan kuajak masuk. Namun melihatku keluar pintu, wajahnya justru ketakutan. Dan ketika aku mendekat, ia justru hendak berlari ke jalan, tak peduli walau hujan. Melihat itu, kuurungkan niatku untuk mendekatinya. Bocah itu belum mengerti apa-apa.

Kucoba untuk menyapanya, kukatakan jangan takut, tapi aku tahu, dia tidak bisa mengerti sedikitpun. Akhirnya, kukatakan padanya.

“Akan kubuatkan susu hangat. Tunggu disini ya,” kataku.

Aku segera pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. Lalu kucoba lagi mendekatinya dengan susu hangat itu. Namun sayangnya, reaksinya tetap sama. Ia menjauh dan ketakutan.

Dengan penuh harap, kuletakkan susu itu tak jauh dari tempatnya berteduh. Lalu kutinggalkan karena ada hal lain yang harus kulakukan.

Hari semakin senja. Semakin gelap ditengah hujan lebat. Langit biru dan udara semakin dingin. Suasana begitu temaram. Aku segera ingat lagi dengan bocah itu. Akupun berlari ke depan rumah untuk melihatnya, dan ya. Dia masih ada disana. Meringkuk di sudut teras rumahku. Kedinginan.

Sungguh tak tega hati ini. Aku tak percaya masih ada orang yang bisa memperlakukan bocah kecil itu seperti ini. Kejam sekali. Ingin sekali kukejar dia dan melaknat dia dihadapannya. Walaupun dia bukan orangtua dari bocah itu, ia tidak bisa memperlakukan bocah malang itu seperti ini.

Kubuka pintu dan hendak mendekatinya. Kulihat susu itu sudah dingin dan belum disentuh olehnya. Tampaknya ia tertidur. Ini berarti kesempatanku untuk membawanya ke dalam. Tapi ketika aku mendekat, dia segera bisa mendengar langkahku dan langsung ketakutan. Bahkan ia berteriak seolah memperingatkanku agar tidak lebih dekat lagi. Atau…

Kuputuskan untuk mundur dan masuk ke rumah lagi. Tak lupa, susu itu kusodorkan lebih dekat kepadanya.

Malam hampir menjelang, angin akan semakin kencang, dan dingin. Aku khawatir jika anak itu tidak bisa melewati malam ini.

Kuputuskan untuk bilang ke orangtuaku, memohonkan kepadanya agar mengizinkan anak itu tinggal dirumah kami. Tapi tak kusangka, mereka menolak begitu saja. Mereka tidak mau ada kehadiran anak lain di rumah ini. Padahal aku sebagai anaknya, tidak keberatan untuk berbagi jatah makan atau bahkan tempat tidur.

“Bocah itu kotor,” tukas orangtuaku.

Aku tidak peduli seberapa kotor dia, aku bisa memandikannya. Tapi mereka tetap tidak mengizinkan.

Dengan terpaksa kutahan hati ini agar tidak menangis menyaksikan pemandangan itu. Seorang bocah kecil meringkuk di pojok teras, kedinginan, dan kelaparan. Tanpa orangtua yang berada disisinya, melindungi dan menghangatkan.

Bocah itu pasti yatim piatu. Hingga sampai ada oranglain yang membuangnya begitu saja. Mungkin ibunya kawin lagi, atau mungkin juga ibunya mati. Dan jika ibu saja sudah tidak ada, jangan tanya ayahnya. Pasti sudah meninggalkannya sejak dalam kandungan.

Kasihan… kasihan sekali…

Ketika malam telah mengepakkan sayap gelapnya, segala kondisi menyedihkan itu masih sama. Aku pun keluar, kuhampiri dia, dan ia tetap takut seperti biasa. Kubawakan semangkuk makanan dan selembar selimut untuk menghangatkan dirinya.

Semangkuk makanan itu kuletakkan di dekat susu yang belum juga diminum. Lalu kulempar dengan pelan selimut itu kepadanya. Dengan berat hati, aku masuk lagi ke rumah, meninggalkan bocah kecil itu kelaparan dan kedinginan.

Hari itu ditutup oleh malam dengan dingin. Menabung mimpi tentang seonggok dosa yang meringkuk di sudut rumahku…

Pada akhirnya pagi membentang. Kusambut ia dengan berlari ke depan rumah untuk memeriksa sisa-sisa mimpi buruk kemarin. Dan yang pertama kali kulihat adalah, susu itu telah diminum dan makanan itu telah dimakan. Akhirnya dia berubah…

Kulihat ia masih tertidur pulas, menggunakan selimutku sebagai alas tidurnya.

Dengan gembira kututup kembali pintu itu. Agak keras mungkin hingga aku membangunkannya. Tapi tak apalah. Aku segera berlari ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuknya. Daging ayam dia pasti doyan, sama sepertiku.

Namun cerita selanjutnya, adalah seperti membaca lembaran akhir sebuah kisah yang tersobek. Kecewa, bingung, sedih, semuanya terjadi.

Dengan semangkuk daging ayam ditangan, kulihat ia sudah tidak lagi di sudut teras rumahku. Kuhampiri selimut itu dan kurasakan sisa-sisa kehangatan tubuhnya yang kini lenyap. Akupun berlari keluar, kucari bocah kecil itu.

Dan tampaknya itu dia. Berjalan pelan di ujung jalan itu, seekor anak kucing kecil yang kurus dan lemah. Pergi… dan tak pernah kembali lagi…[]