Kembali

 

Pagi terlalu beku untuk membuat hutan mengeluarkan suara burung-burungnya. Kabut terlalu pekat untuk membuat yang hitam membiru itu menjadi hijau segar dan indah. Namun seorang pria sudah terbangun dan berjalan menapaki setapak di kedalaman hutan itu. Dengan menahan dingin ia membawa ransel berisi pakaian dan buku-buku, untuk kembali menuju rumahnya usai menuntut ilmu.

Tak lama kemudian, jalan menjadi sedikit mendaki. Dapat dirasakan olehnya bahwa kini ia sedang mendaki sebuah bukit kecil perlahan-lahan, hingga pada akhirnya dijumpailah olehnya ratusan anak tangga berlumut yang terbentuk dari cadas yang ditata sedemikian rupa dan sekedarnya saja. Hitamnya cadas semakin berkuasa bersama embun-embun yang membasahinya. Namun mata pria itu sudah terbiasa karena sejak shubuh ia sudah memulai perjalanan. Meraba hutan dengan kakinya, tanpa mata. Dengan ingatannya dan mengira-ngira.

Kini ratusan anak tangga menuju puncak bukit itu sudah berhasil dilewatinya. Tampaklah setapak lagi menuju ke tanah lebih tinggi, didampingi tangga-tangga tanah yang disekat bilah-bilah bambu. Pria itu terus saja melaju. Dan dijumpainya kini, rumah-rumah panggung yang belum juga membuka mata. Udara terlalu dingin untuk dimasukkan ke dalam rumah melalui jendela. Terlalu berbahaya juga menyentuh air. Musim dingin di daerah ini lebih cenderung mendatangkan dinginnya suhu tanpa turunnya hujan. Maka tak heran, dini hari dan pagi harinya terasa amat menyiksa.

Pria itu terus melaju, melewati satu dua rumah yang berada agak renggang. Selalu terdapat jalan di antara setiap rumah. Dan disetiap jalan itu terlihat itik-itik sudah beraktifitas lebih dulu dibanding si jago yang masih beku lehernya, sehingga belum bisa berkokok. Dan memang dalam keadaan tanpa jam itu, teramat membingungkan ketika membandingkan keadaan yang sudah waktunya bangun atau belum. Mungkinkah sebenarnya masih terlalu pagi untuk membuka mata? Tidak! Tidak bagi pria itu. Bahkan baginya ia sudah sangat terlambat untuk sampai di rumah.

Selepas perkampungan, pria itu menjumpai sebuah jalan yang terdiri dari batu-batu kapur yang sudah terbentuk rapi. Jalan yang agak menanjak menuju ke arah jalan raya yang masih cukup jauh dari sana. Ia terus memaksakan lajunya, walaupun terasa, dingin semakin menggigit ketika letaknya semakin teratas. Walau sedari tadi nafasnya engah karena memanjat, tidak ada keringat yang mengalir. Matahari dikalahkan oleh musim.

Masih panjang perjalanan ini. Tujuannya amat jauh yang di antara letak dan tujuannya itu, membentang hutan belantara, kota, dan tanah lapang yang ketiganya tidak bisa dilukis oleh benaknya akan seperti apa ketika ia melewatinya. Di jalan raya itu, kini ia sedang menunggu sebuah minibus yang biasa mengangkut penumpang dari pasar di atas bukit menuju sebuah kota, jauh di bawah.

Matahari mulai menguning di ufuk timur, tapi ia belum juga menaiki mobil yang berjalan lamban. Dingin yang berkurang dan diamnya diri ini, membuatnya kembali membuka buku, mencoba mengingat seluruh pelajarannya kembali. Dan teringat…

***

Matahari memang menyengat, tapi keringat tidak bisa keluar karena angin di puncak amat besar, bahkan hingga tidak seorang pun disana yang bisa membuka buku masing-masing untuk mencatat. Dan banyak pula yang tidak kuasa untuk mengingat karena keadaan demikian adalah pembangkit kantuk yang paling mutlak. Letak mereka yang berada pada sebuah pendopo panggung yang lebar, tepat di atas bukit yang gundul, tanpa meja dan kursi, benar-benar menjadi rintangan yang paling sulit untuk belajar.

Namun walau demikian, bagi seorang pria yang sulit diketahui namanya oleh kawan-kawannya, kalimat-kalimat itu terdengar indah baginya.

Mata selalu menjadi karena cahaya, karena hanya karenanyalah dan kearahnyalah ia bisa menjadi mata.

Angin ialah yang bergerak sendiri, menggerakkan dan tidak membutuhkan apapun. Seandainya ia dapat terlihat maka tidak ada apapun yang mampu melihat yang lain.

Semuanya didasari oleh kalimat yang selalu mampu memacunya memahami apapun. Senyum dan keseriusan dari wajah yang memiliki bibir pelantun kalimat itu, selalu menambah tenaga dan semangatnya untuk belajar : “Kau berjalan janganlah sekali berhenti dan terpejam! Aku banyak melihatmu terengah, kau mendaki tanpa tali.”

Di lain waktu, ketika tugas terasa demikian berat. Banyak dari kawan-kawannya yang terkutuk oleh lelah hingga tidak mampu memperoleh kejelasan. Padahal,

Kehidupan adalah suatu gerakkan, sementara hasil dari angin belum menunjukkan itu hidup. Menjadi gerakkan bila memiliki tujuan. Tapi lakuan untuk kesenangan bukanlah kehidupan.

-sari dari : hidup itu ibadah-

Hingga kejelasan atas sesuatu benar-benar menjadi sesuatu yang dituntut. Cara yang baik tanpa tujuan dan alasan yang diketahui tidak akan menghasilkan apapun. Seorang kera bisa saja berpakaian dengan sangat rapi, tapi ia tidak tahu apa alasan dan tujuan dari berpakaian itu. Banyak manusia di dunia ini yang hidup dengan cara yang baik, hingga dunianya menjadi demikian sukses. Tapi mereka tidak mengetahui alasan dan tujuan hidup itu, bukankah sama saja dengan kera tadi?

Setiap yang disana sadar, bahwa indra adalah pintu masuk ke dalam raga. Dan apa yang masuk ke dalam raga sungguh mempengaruhi jiwa. Dan mereka semua tahu bahwa mata adalah pintu masuk yang paling banyak menerima tamu. Namun masih sedikit di antara mereka yang merasa harus meletakkan security terkuat pada mata. Hingga keberadaan tuan rumah menjadi terancam dan rumah bisa saja dikuasai para tamu.

Kembali teringat olehnya sang pelantun kalimat yang selalu mendorongnya itu. Benar-benar terbayang dan nyata dikemukakannya dalam benaknya, bahwa dia tidak ada. Kalimat itu bahkan tidak pernah terucap. Semua hanya khayal dan harapannya belaka. Dia tidak pernah ada.

Lain kali hatinya berbisik, mungkin saja suatu saat nanti akan muncul. Dia menunggu saat yang tepat dan membutuhkan tempat. Ataukah pada gadis kecil yang begitu mirip dengannya, dengan kelincahan, ketegasan, keyakinan, prinsip, dan kebawelan yang sama dengannya? Gadis kecil yang doyan bicara. Selalu sibuk bercerita akan apapun dan tidak pernah lupa menasihati. Dari mata dan bagaimana ia mengucapkan nasihat itu, terpampang jelas bahwa si kecil itu sudah mampu melakukannya sebelum ia mulai mengatakannya. Karakternya sudah terbentuk pada umur sedini itu, walau masih terselip dibalik kekanakan dan keinginan bermain sebagaimana anak-anak lainnya. Namun memang benar-benar menjadi tempat yang begitu memungkinkan…

Ketidakwajaran memang selalu menghadiahkan kesan yang lain bagi setiap manusia. Dan hal itu membuat manusia memperhatikannya. Apapun yang beda dan tampak tak wajar bagi kalangan tertentu itu menjadi yang terbaik, walau bagi sebagian yang lain menjadi pertanyaan hingga bahan hinaan. Tergantung dari ketidakwajaran itu, condong ke kebaikan atau keburukan. Lalu bagaimana dengan gadis kecil itu? Yang bernama Malam.

Teringat jelas, bagaimana ia menjemur pakaian, menyapu, bermain, sibuk sendiri, dan dari sorot matanya yang begitu menusuk, juga geraknya yang meyakinkan. Pada mulutnya yang selalu bawel itu, andaikan kepalanya diisi dengan lebih banyak hal yang baik, pasti akan membuatnya diam dan ketika ia berbicara, semua akan ternganga mendengar bagaimana ia menjelaskan kebenaran.

Inandra, mungkinkah demikian kau diwaktu kecil?

Aku tidak pernah tahu… hadirmu demikian saja… ada untuk tidak pernah ada…

***

Minibus itu akhirnya terlihat. Berdesakan orang-orang menaikinya. Ruang dalam berisi penuh manusia, mulai dari orangtua hingga balita. Sementara pada atap minibus itu segala rupa barang dagangan ditumpuk sebisanya, serta ada pula beberapa orang disana.

Pria itupun menaiki atap minibus itu dan duduk menghadap depan. Tatapannya ke depan, mencoba melihat, bagaimana masa depan???

Perjalanan masih panjang. Masih ada ribuan rintang dan dorongan. Tapi hanya satu rintangan yang berat; tanpamu. Dan hanya satu dorongan yang kuat; dirimu. Inandra…

Posted on 7 Agustus 2012, in Cerita and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar